Surat Cinta Untuk Kabupaten Banyuasin Tercinta
Salam Petani Berdaulat, Sejahtera Masyarakat Kelas Pekerja.
Halo warga Banyuasin yang saya cintai… Apakah kalian tahu HGU Perkebunan Karet yang dimiliki Koorporasi Besar di Banyuasin telah habis masa peizinannya?
Apakah kalian tahu HGU ini merupakan tiket VIP untuk mewujudkan masyarakat Banyuasin yang lebih sejahtera dan berdaulat!
Hak Guna Usaha (HGU) adalah istilah lazim yang dipakai dalam ruang lingkup agraria dan pertanahan. Dapat diartikan, HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu tertentu untuk usaha pertanian, perikanan, dan peternakan.
Tanah HGU merupakan salah satu jenis kepemilikan yang sah di Indonesia. Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Diketahui, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Pasal 6 Ayat 1 Huruf (a), dijelaskan terhitung mulai 3 tahun sejak diterbitkan HGU tapi tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan haknya, maka BPN berwenang untuk mencabutnya.
HGU dapat diberikan sekaligus setelah lima tahun HGU digunakan dan dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Kisruh masa berlaku izin HGU pada PT.Melania Indonesia, yang akan habis masanya dan diduga akan melakukan pembaharuan perizinannya.
Maka sebelum pembaharuan izin tersebut pihak perusahaan terlebih dahulu harus melakukan beberapa hal, agar perpanjangan masa berlaku HGU dapat disetujui. Karena untuk prosesnya perpanjangan kedua itu mereka harus membayar sesuai aturan yang ada. Akan tetapi sebelum itu pihak perusahaan harus melepasakan lahan dengan luas lebih kurang 10 hektar untuk fasilitas umum (fasum).
Aturan dari kementerian Dirjenbun itu juga bahwa, jika ada HGU maka harus menyiapkan 20 persen untuk plasma, yang dipertegas dengan surat Kementerian ATR BPN dan aturan itu tidak menyebutkan perkebunan sawit atau karet, sementara kalau dari HGU yang didaftarkan itu ada kelebihan lahannya maka harus dikembalikan ke Negara.
UU PA No. 5 Tahun 1960,
UU No 5 tahun 1960, terdapat dasar hukum kuat yang mengatur tentang hal-hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada UU No 5 meliputi hak milik tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak pembukaan tanah, dan hak memungut hasil hutan. UUPA sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar hukum pembentukan hukum agraria nasional adalah UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang tecantum dalam Pasal 33 ayat (3) yang menentukan sebagai berikut:”Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Reforma Agraria
Kepastian kepemilikan tanah sangat besar maknanya. Kepastian kepemilikan atas lahan atau tanah mempengaruhi kesenjangan penguasaan lahan atau tanah. Makanya tidak heran Konflik lahan atau perebutan lahan antara warga masyarakat atau lahan adat dan koorporasi sering terjadi.
Reforma Agraria yaitu kegiatan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Reforma agraria dilakukan agar tanah-tanah agraria secara aktif diusahakan sendiri atau dipakai oleh pemiliknya.
Melalui program Reforma Agraria, pemerintah membantu mempermudah proses sertifikasi tanah. Kepemilikan tanah menjadi lebih merata dan hak kepemilikan lahan meningkat.
Penguasaan negara terhadap tanah merupakan amanat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Negara diamanatkan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang didasari oleh semangat mensejahterakan masyarakat.
Bentuk penguasaan negara terhadap tanah ini perlu diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang yang mengatur tentang pertanahan.
Salah satu bentuk penguasaan negara yaitu dengan melakukan redistribusi tanah. Redistribusi “Tanah Untuk Rakyat” dilakukan dengan mengidentifikasi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) untuk kemudian dikelola sebagai bagian dari Reforma Agraria.
Selain itu, dalam rangka mendukung program redistribusi tanah. Jadi alangkah baiknya HGU yang dimiliki perusahaan ini dikembalikan ke masyarakat untuk kemakmuran rakyat. Toh, tanah yang dikembalikan ke negara ini bisa dimanfaatkan untuk membuka usaha yang dikelolakan kepada masyarakat.
Tentu ini bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, menambah penghasilan atau oendapatan yang tentu faktor ini dapat meningkatkan PAD kabupaten atau daerah apabila lahan ini dijadikan Badan Usaha Milik Daerah atau ampai skup terkecilnya yaitu BumDes. Bagaimana caranya yang penting karet petani dapat dibeli dengan harga wajar.
Misal unit usaha rakyat bisa juga berupa Koperasi Petani bukan milik perusahaan atau koorporasi. Bagaimana pula pemerintah harusa bisa menyalurkan dana ke Koperasi rakyat. Sebab lahan perkebunan karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat penting peranannya, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja, dan sumber devisa negara ditengah upah buruh yang tidak manusiawi, kita harus bisa menjadikan para buruh tani berdaulat atas kehidupannya sehari-hari.
Sejahtera Petani Sejahtera Kelas Pekerja, Sejahteralah Rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah yang mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat tentu lebih mulia ketimbang di investasikan untuk koorporasi.
Penyalahgunaan wewenang dalam menentukan kebijakan yang merugikan
Tanah leluhur atau tanah adat mereka yang mereka sendiri tidak mempunyai hak sepetak pun untuk dikelola sendiri. Bagusnya ya, dikembalikan kemasyarakat. Sesuai program pemerintah pusat mengenai Reforma Agraria, bahwa tanah untuk rakyat, yang boleh dikelola untuk pertanian, perkebunan atau peternakan.
STOP memperkaya koorporasi saatnya negara memberikan hak kepada rakyat untuk mensejahterakan kehidupan mereka sendiri. Itu baru negara berdaualat.
Pemerintah harus bisa melakukan perubahan besar kalau ingin disebut visioner. (*)
Penulis adalah Widya Astin S.Sos, Ketua DPC Serikat Petani Indonesia Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan
Average Rating