Perjuangan Politik Rakyat Pekerja untuk Reforma Agraria Menuju Negara Sejahtera

Read Time:7 Minute, 55 Second

HARI Tani diperingati bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), yang menjadi dasar hukum pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia.

Refleksi Reforma Agraria saat ini adalah Perjuangan Reforma Agraria yang “Belum Tuntas”, di Indonesia merupakan perjuangan yang telah dilakukan petani sejak lama namun memiliki banyak hambatan, khususnya dari aspek kebijakan dan politik.

“Penguasaan tanah (reclaim) sudah sejak lama di laksanakan Serikat Petani Indonesia, terhitung dari tahun 1998 sudah ratusan ribu hectare yang kita rebut dan kita kembalikan kepada petani dan orang-orang yang bertanah. Namun Korporasi terus berupaya melakukan perlawanan meskipun kebijakan-kebijakan yang ada sudah menyatakan tanah tersebut sebagai obyek dari reforma agraria.

Pihak korporasi terus melakukan perlawanan politik dengan melakukan perubahan kebijakan berupa undang-undang, dalam Undang-undang tahun 2007 tentang  Modal,  pihak korporasi mendesak agar Hak Guna Usaha (HGU) bisa diberikan selama 95 tahun.

Kemudian setelah UU Modal ini dirubah melalui Mahkamah Konstitusi pihak korporasi mendorong lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, yang merubah hukum agraria yang sudah diatur dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Dimana HGU itu hanya 30 tahun”.

Reforma agraria yang berlangsung saat ini telah digiring ke arah reforma agraria yang keliru, masih jauh dari  reforma agraria sejati yang diperuntukkan untuk menghapus ketimpangan kepenguasaan agraria.

Berdasarkan data BPS (2018), mayoritas petani Indonesia merupakan petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar/keluarga tani, sebaliknya, penguasaan dan kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi pada segelintir orang/pihak/kelompok saja.”

Sekarang Reforma agraria lebih diarahkan pada menguatkan pada posisi hukum pihak yang selama ini telah menimbulkan penguasaan dan pemilikan tanah, legalisasi atas perampasan tanah rakyat dan pengrusakan hutan yang terjadi. Komitment politik dan rencana nasional untuk melaksanakan reforma agraria dengan “membagikan tanah seluas 9 juta hektar kepada orang tak bertanah dan petani masih belum terlaksana”.

Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Eks-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara lainnya baru terealisasi seluas 1,33 juta hektare, dari pelepasan kawasan hutan baru tercapai seluas 0,348 juta hektare. Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,67 juta hektare atau 35% dari target 4,5 juta hektare. Padahal sudah dikuatkan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.”

“Praktik reforma agraria itu hanya merupakan langkah awal. Setelah itu harus mengupayakan yang bersifat keberlanjutan, baik itu dari segi ekonomi, sosial, maupun politik. Hal inilah yang seringkali kita lupa, karena telah merebut tanah dan merasa menang tanpa memperhatikan tahap berkelanjutannya seperti agroekologi, yaitu penerapan pengetahuan-pengetahuan ekologi ke dalam desain pengelolaan pertanian.

Konflik agraria merupakan warisan dari masa lalu dan perlahan-lahan sedang diselesaikan.

“Konflik agraria yang ada saat ini bersifat struktural, tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan sebelumnya yang berkaitan dengan pembangunan, proyek strategis dan sebagainya. Kehadiran Kementerian Agraria yang secara khusus untuk mengadvokasi isu-isu agraria dan tanah, nyatanya belum mampu menjawab permasalahan agraria yang marak terjadi.

Dari sisi KOMNASHAM juga telah banyak melahirkan produk-produk yang mendukung reforma agraria seperti kajian-kajian yang beberapa diantaranya tentang Standar Norma dan Pengaturan HAM tentang Hak atas Tanah dan Sumber Daya Alam. Komnas HAM juga mendorong tentang tanah ulayat dan hak atas tanah masyarakat adat”. Komnas Ham juga mencatat, terdapat 623 aduan terkait konflik agraria dalam kurun waktu Januari – Agustus 2023.

Perjuangan Politik Rakyat Pekerja untuk Reforma Agraria Menuju Negara Sejahtera

Hari Tani diperingati bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), yang menjadi dasar hukum pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia.

Refleksi Reforma Agraria saat ini adalah Perjuangan Reforma Agraria yang “Belum Tuntas”, di Indonesia merupakan perjuangan yang telah dilakukan petani sejak lama namun memiliki banyak hambatan, khususnya dari aspek kebijakan dan politik.

“Penguasaan tanah (reclaim) sudah sejak lama di laksanakan Serikat Petani Indonesia, terhitung dari tahun 1998 sudah ratusan ribu hectare yang kita rebut dan kita kembalikan kepada petani dan orang-orang yang bertanah. Namun Korporasi terus berupaya melakukan perlawanan meskipun kebijakan-kebijakan yang ada sudah menyatakan tanah tersebut sebagai obyek dari reforma agraria.

Pihak korporasi terus melakukan perlawanan politik dengan melakukan perubahan kebijakan berupa undang-undang, dalam Undang-undang tahun 2007 tentang Modal, pihak korporasi mendesak agar Hak Guna Usaha (HGU) bisa diberikan selama 95 tahun.

Kemudian setelah UU Modal ini dirubah melalui Mahkamah Konstitusi pihak korporasi mendorong lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, yang merubah hukum agraria yang sudah diatur dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Dimana HGU itu hanya 30 tahun”.
Reforma agraria yang berlangsung saat ini telah digiring ke arah reforma agraria yang keliru, masih jauh dari reforma agraria sejati yang diperuntukkan untuk menghapus ketimpangan kepenguasaan agraria.

Berdasarkan data BPS (2018), mayoritas petani Indonesia merupakan petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar/keluarga tani, sebaliknya, penguasaan dan kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi pada segelintir orang/pihak/kelompok saja.”

Sekarang Reforma agraria lebih diarahkan pada menguatkan pada posisi hukum pihak yang selama ini telah menimbulkan penguasaan dan pemilikan tanah, legalisasi atas perampasan tanah rakyat dan pengrusakan hutan yang terjadi. Komitment politik dan rencana nasional untuk melaksanakan reforma agraria dengan “membagikan tanah seluas 9 juta hektar kepada orang tak bertanah dan petani masih belum terlaksana”.

Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Eks-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara lainnya baru terealisasi seluas 1,33 juta hektare, dari pelepasan kawasan hutan baru tercapai seluas 0,348 juta hektare. Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,67 juta hektare atau 35% dari target 4,5 juta hektare. Padahal sudah dikuatkan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.”

“Praktik reforma agraria itu hanya merupakan langkah awal. Setelah itu harus mengupayakan yang bersifat keberlanjutan, baik itu dari segi ekonomi, sosial, maupun politik. Hal inilah yang seringkali kita lupa, karena telah merebut tanah dan merasa menang tanpa memperhatikan tahap berkelanjutannya seperti agroekologi, yaitu penerapan pengetahuan-pengetahuan ekologi ke dalam desain pengelolaan pertanian.

Konflik agraria merupakan warisan dari masa lalu dan perlahan-lahan sedang diselesaikan.

“Konflik agraria yang ada saat ini bersifat struktural, tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan sebelumnya yang berkaitan dengan pembangunan, proyek strategis dan sebagainya. Kehadiran Kementerian Agraria yang secara khusus untuk mengadvokasi isu-isu agraria dan tanah, nyatanya belum mampu menjawab permasalahan agraria yang marak terjadi.

Dari sisi KOMNASHAM juga telah banyak melahirkan produk-produk yang mendukung reforma agraria seperti kajian-kajian yang beberapa diantaranya tentang Standar Norma dan Pengaturan HAM tentang Hak atas Tanah dan Sumber Daya Alam. Komnas HAM juga mendorong tentang tanah ulayat dan hak atas tanah masyarakat adat”. Komnas Ham juga mencatat, terdapat 623 aduan terkait konflik agraria dalam kurun waktu Januari – Agustus 2023.

Perampasan tanah, kriminalisasi petani, adalah salah dua contoh dimana hak asasi petani dilanggar. “Petani perempuan rentan terkena pelanggaran hak asasi petani dilanggar. “Petani perempuan rentan terkena pelanggaran hak asasi petani karena berada di garda terdepan dalam perjuangan-perjuangan mempertahankan lahan,”.

Pihak-pihak kapital yang secara tidak langsung mendistribusikan masyarakat pedesaan ke kota” ini menunjukkan bahwa agraria tidak hanya berkutat pada masalah tanah, tetapi juga menyentuh permasalahan budaya, politik, maupun ekonomi.

lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, rupanya tak hanya memukul kaum buruh semata, melainkan juga berimbas kepada petani. Sebab, telah mengukuhkan kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi dalam merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

Negara juga harus menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan petani dan perempuan yang bekerja di pedesaan dan mempromosikan pemberdayaan mereka dalam rangka memastikan, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, bahwa mereka sepenuhnya dan secara setara menikmati semua hak asasi manusia serta kebebasan dasar bahwa mereka dapat dengan bebas memperjuangkan, berpartisipasi dalam mendapatkan manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya pedesaan.

Negara juga harus memastikan perempuan petani mendapatkan akses yang setara, menggunakan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, dan perlakuan yang setara atau prioritas dalam tanah dan reforma agraria dan dalam skema permukiman kembali atas lahan.

Sekarang Reforma agraria lebih diarahkan pada menguatkan pada posisi hukum pihak yang selama ini telah menimbulkan penguasaan dan pemilikan tanah, legalisasi atas perampasan tanah rakyat dan pengrusakan hutan yang terjadi.

Segala hambatan menandakan perjuangan reforma agraria belum selesai dan perlu untuk terus memperkuat perjuangan rakyat dan politik petani dan rakyat.

“Dengan demikian, gerakan rakyat harus terus terdepan untuk memperjuangkan reforma agraria. Perjuangan ini bukan hanya perjuangan petani tetapi juga perjuangan seluruh rakyat miskin di Indonesia dan dunia.

Seperti konflik agraria dan perjuangan reforma agraria yang sedang berlangsung di Rempang.  Kasus perampasan tanah terbaru dengan legitimasi UU Cipta Kerja terjadi di Pulau Rempang, Prov. Kepulauan Riau, di mana Rakyat Pulau Rempang termasuk masyarakat adat yang telah tinggal sejak Tahun 1834, menolak relokasi atas pembangunan kawasan industri di tanah seluas 17 ribu hektare.

“Konflik lahan juga telah terjadi pada kawan-kawan Serikat Petani Indonesia di Sumatera Utara, Jambi dan Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan reforma agraria sangatlah lambat dan para petani yang menghadapi konflik agrarian masih terus menjadi korban intimidasi dan kriminalisasi sampai sekarang.

Ini akibat akumulasi modal yang telah mengaburkan hubungan kota dengan desa yang bermuara pada kekuatan kapital yang berusaha mengekspansi lahan-lahan agraris di wilayah pedesaan.

“Dari penelitian yang saya lakukan, didapati bahwa anak-anak yang mengemis di sekitaran lampu-lampu merah, sebagian besar mereka bukan berasal dari Kota/ibu kota tetapi dari daerah penopang kota tersebut yang merupakan kawasan perdesaan. Artinya perdesaan tidak mempunyai lahan tempat tinggal lagi di kampungnya. Ini menandakan sebenarnya bahwa lahan-lahan di pedesaan semakin habis diambil oleh pihak-pihak kapital yang secara tidak langsung mendistribusikan masyarakat pedesaan ke kota”. Menjadikan masyarakat itu buruh yang di upah tak layak, atau masyarakat miskin yang semakin termarjinal.(*)

Penulis : Widya Astin. S.Sos, Ketua DPC Serikat Petani Indonesia Kab. Banyuasin, Sumsel.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *